Jumat, 05 Maret 2010

orde baru

BERAKHIRNYA MASA ORDE BARI DAN LAHIRNYA REFORMASI

Mengapa keluarnya Supersemar menandai lahirnya pemerintah Orde Baru. Agar kalian memahami, ada baiknya kita flashback ke materi yang lalu. Bagaimana kondisi bangsa pada masa Demokrasi Terpimpin? Kondisi ekonomi sangat parah dan kondisi politik memanas karena adanya persaingan politik antara PKI dan TNI AD. Puncaknya terjadi peristiwa G 30 S/PKI. Akibatnya kehidupan berbangsa mengalami kekacauan. Oleh karena itu untuk memulihkan keadaan, Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar. Sekarang kalian paham, bukan? Pada masa Orde Baru, pemerintah melaksanakan pembangunan untuk menata kehidupan rakyat. Dengan pembangunan tersebut, tercapai kemajuan dalam berbagai bidang. Namun keberhasilan tersebut tidak diimbangi dengan fondasi yang kokoh. Akibatnya ketika diterpa krisis moneter, ekonomi Indonesia mudah rapuh. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bagaimana pula dampaknya terhadap kelangsungan pemerintah orde baru? Agar kalian lebih paham, maka cermatilah materi berikut ini.
A. Lahirnya Orde Baru

Sejak gerakan PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidaksabaran di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mendatangi DPR-GR dan mengajukan Tritura yang isinya:
1. pembubaran PKI,
2. pembubaran kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI, dan
3. penurunan harga.

Menghadapi aksi mahasiswa, Presiden Soekarno menyerukan pembentukan Barisan Soekarno kepada para pendukungnya. Pada tanggal 23 Februari 1966 kembali terjadi demonstrasi. Dalam demonsrasi tersebut, gugur seorang mahasiswa yang bernama Arif Rahman Hakim. Oleh para demonstran Arif dijadikan Pahlawan Ampera. Ketika terjadi demonsrasi, presiden merombak kabinet Dwikora menjadi kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Oleh mahasiswa susunan kabinet yang baru ditentang karena banyak pendukung G 30 S/PKI yang duduk dalam kabinet, sehingga mahasiswa memberi nama kabinet Gestapu. Saat berpidato di depan sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966, presiden diberitahu oleh Brigjen Subur. Isinya bahwa di luar istana terdapat pasukan tak dikenal. Presiden Soekarno merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang. Presiden bersama Dr. Soebandrio dan Dr. Chaerul Saleh menuju Istana Bogor. Tiga perwira tinggi TNI AD yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud menyusul presiden ke Istana Bogor. Tujuannya agar Presiden Soekarno tidak merasa terpencil. Selain itu supaya yakin bahwa TNI AD bersedia mengatasi keadaan asal diberi kepercayaan penuh. Oleh karena itu presiden memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Supersemar pada intinya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan kestabilan jalannya pemerintahan. Selain itu untuk menjamin keselamatan presiden. Bagi bangsa Indonesia Supersemar memiliki arti penting berikut.

1. Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru.
2. Dengan Supersemar, Letjen Soeharto mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia.
3. Lahirnya Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Kedudukan Supersemar secara hukum semakin kuat setelah dilegalkan melalui Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Sebagai pengemban dan pemegang Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa langkah strategis berikut.
1. Pada tanggal 12 Maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya.
2. Pada tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam G 30 S/PKI.
3. Membersihkan MPRS dan DPR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh PKI dan unsur-unsur komunis.
B. Berbagai Peristiwa Penting di Bidang Politik pada Masa Orde Baru

Dalam melaksanakan langkah-langkah politiknya, Letjen Soeharto berlandaskan pada Supersemar. Agar dikemudian tidak menimbulkan masalah, maka Supersemar perlu diberi landasan hukum. Oleh karena itu pada tanggal 20 Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum. Berikut ini ketetapan MPRS hasil sidang umum tersebut.
1. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
2. Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, tentang Pemilihan Umum yang dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
3. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966, tentang penegasan kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
4. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
5. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), dan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam sidang ini, MPRS juga menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul “Nawaksara” (sembilan pasal), sebab pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno tidak menyinggung masalah PKI atau peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Selanjutnya MPRS melaksanakan Sidang Istimewa tanggal 7 – 12 Maret 1967. Dalam Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat Ketetapan penting berikut.
1. Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai dipilihnya presiden oleh MPRS hasil Pemilu.
2. Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3. Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.
4. Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang pembentukan panitia penelitian ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 maka dibentuk Kabinet Ampera pada tanggal 25 Juli 1966. Pembentukan Kabinet Ampera merupakan upaya mewujudkan Tritura yang ketiga, yaitu perbaikan ekonomi. Tugas pokok Kabinet Ampera disebut Dwi Dharma yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Program kerjanya disebut Catur Karya, yang isinya antara lain:
1. memperbaiki kehidupan rakyat terutama sandang dan pangan,
2. melaksanakan Pemilu,
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional, dan
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Dengan dilantiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden yang kedua (1967-1998), Indonesia memasuki masa Orde Baru. Selama pemerintahan Orde Baru, stabilitas politik nasional dapat terjaga. Lamanya pemerintahan Presiden Soeharto disebabkan oleh beberapa faktor berikut.

1. Presiden Soeharto mampu menjalin kerja sama dengan golongan militer dan cendekiawan.
2. Adanya kebijaksanaan pemerintah untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar) dalam setiap pemilu.
3. Adanya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai gerakan budaya yang ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila, yang kemudian dikuatkan dengan ketetapan MPR No II/MPR/1978.

Untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang demokratis, maka diselenggarakan pemilihan umum. Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru dilaksanakan tahun 1971, dan diikuti oleh sembilan partai politik dan satu Golongan karya. Sembilan partai peserta pemilu tahun 1971 tersebut adalah Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sejak pemilu tahun 1971 sampai tahun 1997, kemenangan dalam pemilu selalu diraih oleh Golkar. Hal ini disebabkan Golongan Karya mendapat dukungan dari kaum cendekiawan dan ABRI.

Untuk memperkuat kedudukan Golkar sebagai motor penggerak Orde Baru dan untuk melanggengkan kekuasaan maka pada tahun 1973 diadakan fusi partai-partai politik. Fusi partai dilaksanakan dalam dua tahap berikut.
1. Tanggal 5 Januari 1963 kelompok NU, Parmusi, PSII, dan Perti menggabungkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Tanggal 10 Januari 1963, kelompok Partai Katolik, Perkindo, PNI, dan IPKI menggabungkan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Di samping membina stabilitas politik dalam negeri, pemerintah Orde Baru juga mengadakan perubahan-perubahan dalam politik luar negeri. Berikut ini upayaupaya pembaruan dalam politik luar negeri.

1. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Sebelumnya pada masa Demokrasi Terpimpin Indonesia pernah keluar dari PBB sebab Malaysia diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Keaktifan Indonesia dalam PBB ditunjukkan ketika Menteri Luar Negeri Adam Malik terpilih menjadi ketua Majelis Sidang Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.

2. Membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)

Sikap politik Indonesia yang membekukan hubungan diplomatik dengan RRC disebabkan pada masa G 30 S/PKI, RRC membantu PKI dalam melaksanakan kudeta tersebut. RRC dianggap terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

3. Normalisasi hubungan dengan Malaysia

Pada tanggal 11 Agustus 1966, Indonesia melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia yang pernah putus sejak tanggal 17 September 1963. Persetujuan normalisasi ini merupakan hasil Persetujuan Bangkok tanggal 29 Mei sampai tanggal 1 Juni 1966.

Dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, sementara Malaysia dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Tun Abdul Razak. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan yang disebut Persetujuan Bangkok (Bangkok Agreement), isinya sebagai berikut.
a. Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan untuk menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
b. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
c. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

4. Berperan dalam Pembentukan ASEAN

Peran aktif Indonesia juga ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara pelopor berdirinya ASEAN. Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik bersama menteri luar negeri/perdana menteri Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menandatangi kesepakatan yang disebut Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. Deklarasi tersebut menjadi awal berdirinya organisasi ASEAN.
C. Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak 6 kali. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 13.1.

Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.
D. Runtuhnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
1. Runtuhnya Orde Baru

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

Selasa, 02 Maret 2010

masa pemerintahan orde baru 1996 "runtuhnya orde baru" sampai sekarang

1. Orde Baru


Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.


Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Faktor peyebab terbentuknya Orde baru

Secara umum ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terbentuknya Orde Baru, antara lain:

1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.

2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.

3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.

4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.

5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.

6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :

· Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya

· Pembersihan Kabinet Dwikora

· Penurunan Harga-harga barang.

7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).

9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.

3. Keadaan Politik Indonesia Pada Masa Pemerintahan Orde Baru


Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.


Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.


Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.


Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).


Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.


Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

4. Iklim Demokrasi (Pemilu) Pada Masa Orde baru


a. Pemilihan Umum Pada Masa Orde Baru


Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

b. Keadaan Sebnarnya Pemilu Pada Masa Orde Baru


Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).


Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.

6. Runtuhnya Orde Baru


Yang melatar belakangi runtuhnya orde baru adalah adanya ketidak adilan dan penyelewengan dalam pelaksanaan pemerintahan pada masa orde baru. ketidak adilan dan penyelewengan itu terjadi di bidang politik, ekonomi, serta hukum. Di semua bidang ini banyak terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme. hal itu terjadi karena Pancasila dan UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konskwen.

Setelah runtuhnya Orde baru munculah Reformasi, yang menjadi harapan baru bagi masyarakat indonesia untuk mencapai hidup yang lebih baik dibandingkan yang sebelumnya.

tragedi nasional

maandag 16 maart 2009
Cipto Munandar: 42 Tahun Tragedi Nasional 1965
42 Tahun Tragedi Nasional 1965



Pada 42 tahun yang lalu terjadi peristiwa 30 September 1965 yang disusul dengan naiknya kekuasaan militer Orde Baru Suharto dan terjadi pembantaian jutaan manusia Indonesia tak berdosa, perampasan segala hak sipil dan kemanusiaan jutaan keluarga Indonesia. Hingga saat ini diskriminasi atas sebagian besar bangsa Indonesia masih berlangsung.
Walaupun presiden Suharto sudah lengser pada Mei 1998, hampir sepuluh tahun yang lalu dan secara formal kita berada pada apa yang dikatakan “era reformasi”, belum ada perubahan mendasar dalam situasi tersebut. Bahkan masih terjadi konflik-konflik berdarah seperti di Papua, Maluku, Poso (Sulawesi), juga di daerah Aceh serta daerah-daerah lain yang rawan.
Baik secara nasional maupun secara internasional organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memperjuangkan keadilan dan demokrasi secara bertahun-tahun melaksanakan usahanya untuk menegakkan kekuasaan hukum dan melawan pelanggaran hak-hak azasi manusia di Indonesia.
Organisasi-organisasi yang memperjuangkan rehabilitasi para korban 1965 tak kenal lelah meneruskan usahanya. Antara lain, Pakorba, LPR-KROB, YPKP, LPKP, KAP T/N, ELSAM dan berbagai badan usaha advokasi. SYARIKAT (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) dari golongan muda NU memperoleh hasil tertentu untuk mencapai rekonsiliasi antara para korban dengan para pelakunya dengan kegiatan di akar-rumput. Tapi mereka harus mengatasi hambatan-hambatan berat baik dari fihak orang-orang generasi tua maupun prasangka-prasangka masyarakat.
Secara internasional ada kegiatan-kegiatan seperti oleh Amnesty International memberikan tekanan pada penguasa-penguasa di Indonesia. Dan dari Indonesia sendiri ada wakil-wakil organisasi HAM yang mendatangi sidang PBB di Jenewa untuk menggugat pelanggaran yang masih saja berlangsung di Indonesia. Di kalangan komunitas Indonesia di luarnegeri, khususnya para mahasiswa Indonesia, ada hasrat mau menyelami apa yang terjadi pada peristiwa 30 September 1965 dan rangkaian peristiwa sesudahnya. Pada musim panas tahun 2000 para mahasiswa Indonesia Universitas di Leuven, Belgia, menyelenggarakan seminar mengenai tema itu. Pada kesempatan itu berbicara Sitor Situmorang, Carmel Budiardjo dan Paul Mudikdo. Juga hadir dan berbicara Nani Nurachman, puteri jenderal Sutoyo yang terbunuh pada peristiwa 30 September itu. Maka berlangsung perjumpaan muka antara korban anak ‘pahlawan revolusi’ dan korban anak PKI (Ibaruri). Tidak terjadi pertengkaran, malah ada saling pengertian tentang kondisi masing-masing. Di Indonesia, Nani Nurachman berprakarsa untuk mengadakan forum rekonsiliasi dengan para korban 1965. Ini pertanda bahwa antara sesama warga Indonesia yang punya latarbelakang politik yang saling bermusuhan, lebih mudah tercapai saling pengertian dan saling permaafan.
Tapi dari pihak kekuasaan Indonesia tidak ada langkah nyata ke arah rekonsiliasi dan rehabilitasi. Presiden Abdurrachman Wahid – Gus Dur adalah presiden pertama yang berkepedulian pada tragedi 1965. Beliau menyatakan maaf pada korban-korban 1965 dan mengutus menteri kehakiman untuk menyelesaikan para eksil yang tak dapat pulang karena peristiwa G30S. Kita semua tahu apa hasilnya. Gus Dur dipaksa mundur sebagai presiden dan janji menkumdang menyelesaikan masalah para eksil tinggal janji kosong.
Pada bulan Maret 2003 datang untuk pertama kalinya langsung dari Indonesia delegasi yang terdiri dari korban-korban 1965, yaitu dr Tjiptaning, Ir Setiadi dan Heru Atmodjo. Mereka berhasil hadir dalam sidang PBB mengenai HAM di Jenewa dan dr Tjiptaning dapat menyampaikan statement mengenai pelanggaran HAM di Indonesia. Delegasi ini dapat mengunjungi wakil-wakil parlemen Eropa di Brussel dan bertemu di Den Haag dengan pejabat Kementerian Luarnegeri Belanda. Delegasi ini dapat memberi gambaran jelas mengenai diskriminasi dan stigmatisasi yang diderita oleh jutaan orang keluarga korban 1965 dan memperoleh pengertian dan simpati dari pihak-pihak yang ditemui.
Pada 28 September 2003 dalam pengantar memperingati tragedi 1965 Bapak Paul Mudikdo mengupas kejahatan-kejahatan rezim Orba dari segi hukum. Kata pak Mudikdo, norma-norma hukum yang berlaku secara internasional sejak Revolusi Prancis dan kemudian pada waktu menghukum kaum Nazi Jerman pada pengadilan Neurenberg seusai Perang Dunia II, seharusnya merupakan norma-norma hukum di negara Republik Indonesia. Atas dasar norma-norma hukum itu kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh rezim Orba Suharto bukan saja merupakan kejahatan yang melanggar Hak-hak azasi manusia, tapi dapat dikategorikan lebih berat, yaitu sebagai Crimes Against Humanity (Kejahatan Melawan Kemanusiaan). Dan lanjut pak Mudikdo, menurut kelaziman hukum internasional, pemerintah yang menggantikan pemerintah Orde Baru mewarisi tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Perasaan dan kesedaran ini tak ada pada pemerintah-pemerintah purna Suharto.
Lain sekali sikap dan perlakuan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan GAM pemerintah Indonesia sudah mencapai kesepakatan perdamaian. Wakil-wakil GAM di luarnegeri dapat kembali ke tanahair. Dalam pemilihan kepala daerah Aceh, seorang tokoh GAM terpilih jadi Gubernur.

Mengapa belum ada perubahan fundamental mengenai masalah rehabilitasi dan rekonsiliasi para korban dari Tragedi Nasional 1965 ? Perlu kita mencoba memahami sebab-musababnya.

Sejak awal 1998 terjadi peningkatan gerakan massa , khususnya mahasiswa, melawan Suharto dan rezim Orba. Kelihatan retak-retaknya dalam rezim ini dengan mulai terjadinya krismon dan diperkirakan rezim Orba akhirnya bisa dipaksa turun panggung. Pada bulan Februari 1998 diadakan pertemuan ‘Jaringan Oposisi Demokratik Indonesia di Eropa’ untuk membahas bagaimana menghadapi kemungkinan itu. Pada kesempatan itu saya kemukakan pandangan bahwa selama 30 tahun lebih rezim Orba telah menegakkan suatu struktur kekuasaan di bidang politik, ekonomi, sosial-kultural yang mengekang seluruh kehidupan masyarakat. Ini merupakan kendala berat yang bersifat fisik dan psikis/mental yang harus dirobohkan untuk merintis jalan bagi demokratisasi. Untuk itu perlu ada gerakan perlawanan yang sungguh-sungguh mengakar-dalam pada massa rakyat berbagai sektor. Tanpa itu tak mungkin berhasil merombak struktur orde baru menjadi masyarakat demokratik.
Pada Mei 1998 berlangsung demonstrasi ratusan ribu massa mahasiswa dan rakyat. Suharto lengser, artinya melangkah ke samping. Jadi sebetulnya tidak turun kekuasaan. Gerakan massa mulai tercerai-berai. Struktur kekuasaan Orba hanya digerigiti sana-sini, tapi hakekatnya masih utuh. Pemerintah-pemerintah silih-berganti purna Suharto dengan mengusung semboyan-semboyan ‘reformasi’ tidak menyentuh hakekat struktur tersebut. Malah makin bertambah tanda-tanda mulai konsolidasi kekuatan Orde Baru Baru. Berbagai percobaan untuk membawa Suharto ke pengadilan telah gagal. Yang berhasil malah gugatan Suharto pada majalah “TIME’ Amerika yang dianggap merugikan nama baiknya. Putusan MA yang memenangkan Suharto sungguh memalukan dan menghina bangsa Indonesia. Sekaligus bukti masih berdominasi struktur kekuasaan Orba. Struktur ini tetap hambatan besar dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan demokratisasi masyarakat.
Oleh PBB dan Bank Dunia sekarang Suharto sudah disingkap sebagai pencuri terbesar atas kekayaan negerinya. Apakah soal ini akan sungguh-sungguh dilacak dan diperkarakan oleh pemerintah Indonesia? Itu harapan kita tapi menjadi tandatanya besar.

Dalam pengantar pada diskusi tema peristiwa G30S 1965 pada 27 september 2002 saya antara lain menyatakan bahwa terbentuknya struktur kekuasaan rezim Orba sekaligus berarti tegaknya suatu rezim Orba yang pada hakekatnya membunuh pergerakan kemerdekaan nasional yang dibangun sejak awal abad ke-20, suatu pergerakan yang mempersatukan aliran-aliran politik besar nasionalis, agama dan komunis, yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Rezim Orba tidak saja memulas sejarah, tapi menghapus seluruh episode sejarah itu. Tradisi partai-partai politik yang dijiwai oleh ideologi perjuangan kemerdekaan itu diingkari dan diganti oleh partai-partai politik yang semata mengabdi kekuasaan dan kekayaan.
Aliran kiri sejak awal merupakan satu kekuatan penting dalam gerakan kemerdekaan nasional, sehingga Bung Karno menyimpulkan pentingnya persatuan nasionalisme, islam dan komunisme. Pada tahun 1960-an Bung Karno menegaskan gagasannya sebagai persatuan NASAKOM. Oleh rezim Orba bukan saja PKI tapi seluruh aliran kiri telah ditumpas dan dihilangkan dari spektrum politik Indonesia. Tapi penindasan melahirkan perlawanan. Pada masih jayanya kekuasaan Orde Baru Suharto toh muncul kekuatan yang berani melawannya, khususnya dari gerakan mahasiswa. Dari sini tampillah kekuatan kiri, yaitu kekuatan melawan penindasan dan ketidakadilan, membela rakyat kecil. Meskipun sangat kecil, kekuatan ini berani menggugat dan menantang kekuasaan rezim Orba itu. PRD dan organisasi mahasiswa/pemuda lain berani mengorbankan diri, masuk penjara atau dibunuh.. Dalam ‘era reformasi’ sekarang pun kekuatan mereka ini masih ditakuti dan diteror seperti dialami PAPERNAS pada tahun ini.
Pembantaian dan pemenjaraan jutaan tak bersalah menyusul peristiwa 1965 menandakan tidak adanya ‘rule of law’, berlakunya apa yang disebut sebagai impunity (kebal hukum). Karena hal itu belum pernah ditangani, maka sampai sekarang pun impunity itu masih berlaku. Siapa berani menentang dan menggugat rezim berkuasa akan disingkirkan, dihilangkan atau dibunuh. Itu yang terjadi pada pejuang buruh Marsinah, pada seniman rakyat Wiji Thukul dan banyak lain yang tak bernama.
Munir salah satu seorang pejuang yang sejak rezim Suharto masih berkuasa berani menyingkap kejahatan rezim dan kesewenang-wenangannya. Ia sangat berkepedulian pada tindakan kekerasan di Indonesia, mulai dari tragedi 1965 sampai peristiwa penculikan 1997/98, suatu rangkaian kekerasan yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Ia ungkap perasaannya dengan ucapan ‘kami sudah lelah dengan kekerasan’. Dengan teman-teman sesama aktivisnya ia bergulat melawan kekuasaan yang menyebabkan kekerasan itu, maka dibenci oleh mereka.
Pada tahun 2004 waktu berada dalam perjalanan terbang ke Amsterdam Munir dengan keji diracuni dan meninggal di pesawat terbang. Pembunuhan ini membangkitkan kemarahan di masyarakat Indonesia dan internasional. Pemeriksaan dan penelitian seksama dilakukan untuk menyingkap perkara pembunuhan ini dan menemukan pembunuhnya. Hingga saat ini belum ada jawaban tuntas tentang apa yang terjadi. Tapi yang sudah terungkap yang bahwa orang-orang dari badan intelijen Indonesia terlibat langsung dalam pembunuhan itu. Pada hari Kemis 13 September yang lalu oleh Amnesty International diselenggarakan Munir Memorial Lecture di Utrecht. Lewat penjelasan Suciwati, isteri almarhum Munir, Usman Hamid (Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan – KONTRAS) dan Asmara Nababan (Mantan
Anggota Tim Pencari Fakta Kematian Munir) kita mengetahui rintangan besar dan kompleksitas proses untuk menyingkap perkara pembunuhan dan menemukan pelaku pembunuhan.
Kematian Munir bukan hanya masalah Indonesia. Pertengahan Juli tahun ini Komisioner Tinggi Hak Azasi Manusia PBB Louise Arbour mengunjungi Indonesia. Dalam pertemuannya dengan presiden Susilo Bambang Yudoyono ia menegaskan bahwa kasus pembunuhan Munir bukan lagi perkara domestik Indonesia, tapi telah menjadi sorotan dunia internasional. Berkaitan dengan kondisi perlindungan terhadap para pembela HAM ini telah datang pula pada akhir Juli tahun ini utusan khusus PBB Hina Jilani ke Indonesia. Ia menyatakan kepada pemerintah untuk membuat mekanisme pengawasan, mekanisme untuk mengatasi tekanan, intimidasi dan teror yang sebagian besar dilakukan oleh polisi, militer dan badan intelijen terhadap para pekerja HAM.
Nasib yang menimpa Munir berkaitan langsung dengan nasib para korban tragedi nasional 1965 yang sampai saat ini tidak ada perspektif penyelesaiannya..
Berbagai publikasi sudah terbit di Indonesia yang menyingkap peristiwa 30 September dan peristiwa lanjutannya. Salah satu yalah buku Harsutejo berjudul ‘Sejarah G30S yang digelapkan’. Minggu-minggu ini Harsutejo mempublikasi lagi serial mengenai G30S yang dilengkapi dan direvisi. Di luar negeri telah terbit buku tulisan John Roosa, berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia, yang mengungkap proses terjadinya pembunuhan massal oleh Suharto dengan menggunakan dalih G30S.
Banyak eks tahanan Orde Baru telah mempublikasi pengalaman siksaan dan deritaan yang dialami dalam sekapan rezim Orba. Usaha ini sangat diperlukan dan harus diteruskan untuk mengungkap kebenaran dan kejadian sesungguhnya Tidak mungkin saya sebut semua publikasi itu. Salah satunya yang ingin saya angkat yalah Terempas Gelombang Pasang, tulisan Sudjinah, tokoh Gerwani, pejuang gigih revolusioner yang belum lama ini meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Fihak lawan yang berkepentingan mempertahankan orde baru dalam berbagai bentuknya juga aktif menerbitkan berbagai publikasi. Antara lain buku Antonie C. A. Dake dan Victor M. Fic yang mengatakan Bung Karno yang mendalangi G30S. Tahun ini terbit buku, Helen-Hunter, seorang ex CIA, berjudul Sukarno and the Indonesian Coup: TheUntold Story, yang mengaku punya bukti-bukti tak terbantahkan bahwa Bung Karno langsung terlibat.dalam G30S.
Dr. Asvi Warman Adam pada 29 September ini, dalam artikel membahas adanya beberapa versi mengenai G30S, mengemukakan pendapatnya bahwa di antara berbagai versi itu analisa Bung Karno adalah yang paling lengkap. Bahkan seluruh versi itu termasuk dalam pidato Pelengkap Nawaksara. yang disampaikan oleh Bung Karno pada 10 Januari 1967 kepada Sidang MPRS.

Perjuangan untuk menegakkan kebenaran, untuk ‘meluruskan sejarah’ berkaitan dengan Tragedi Nasional 1965, untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi demi persatuan bangsa Indonesia merupakan perjuangan berjangka panjang. Perjuangan ini berpadu dengan seluruh usaha dan perjuangan bangsa Indonesia melawan pelanggaran HAM, melawan ketidakadilan dan untuk mewujudkan demokrasi bagi masyarakat Indonesia.
Untuk semua yang berjuang demi keadilan dan kebenaran saya ingin meminjam sub-judul dari ceramah Asmara Nababan pada 13 September yang lalu di Utrecht.
KERJAKAN SEGALA YANG DAPAT DIKERJAKAN, LANJUTKAN APA YANG HARUS DIKERJAKAN ! (doing the most possible, continue to do what has to be done).